“Gimana kabarnya, Mas Bro? Masih belum bosen to ngobrol soal bambu?”
Nah, kali ini saya ingin menyodorkan topik ini nih, Bro: bagaimana bambu di mata peneliti. Dalam tulisan kali ini, perbincangan kita tidak akan jauh-jauh dari perkembangan riset mengenai bambu ini di banyak tempat. Semoga ndak membosankan ya, Bro, sama seperti sayur lodeh rebung yang jadi salah satu makanan kegemaran saya. Waktu dikunyah memang agak kasar sedikit di lidah, tapi di situlah letak enaknya Mas Bro, hehehe…
Ngomong tentang riset, seringkali akan membuat banyak orang yang diajak ngomong/ngobrol merasa ngantuk. Ini sudah menjadi keumuman, semacam sunnatullah (hukum alam yang berjalan tetap dan otomatis). Hal ini karena untuk ngobrol soal riset saja perlu berfikir keras, dan berfikir itu sendiri termasuk pekerjaan yang berat. Apalagi kalau aktivitas olah pikir itu dibarengi aktivitas membaca. Pastilah tidak hanya berat di otak, tapi juga berat di mata.
Sehingga, saya perlu tekankan sebelumnya bahwa anda sebagai pembaca tidak perlu sungkan dan was-was bila saat tengah membaca artikel ini anda merasa ngantuk yang berkelanjutan. Sebenarnya, hal itu adalah wajar dan lumrah. Justru, itu bisa saja mendatangkan pahala buat saya kalau tulisan ini bisa menjadi obat ngantuk khususnya buat anda yang doyan melek.
Namun demikian, untuk menjaga agar tulisan ini tetap tidak membosankan, saya (sebagai blogger pocokan ini) akan mencoba menulis mengikuti pola yang umum dipakai para blogger profesional: memecah tulisan panjang ke dalam beberapa bagian yang lebih pendek. Bukan supaya tulisan ini menjadi enak dibaca, tetapi agar pembaca yang budiman bisa berkesempatan merem sejenak barang lima sepuluh menit setelah selesai membaca satu bagian. Karena ngantuk adalah kunci (menuju alam mimpi).
Nah, setelah saya mencoba menjelajahi artikel dan laman di beberapa jurnal ilmiah, secara subjektif saya membedakan macam riset mengenai bambu ini menjadi beberapa kelompok. Kelompok tersebut meliputi antara lain: Bambu sebagai Bambu, Bambu sebagai Material, dan Bambu sebagai Medium.
Bambu sebagai Bambu
Bambu sebagai Bambu dalam konteks ini, banyak terdapat dalam riset-riset tentang bambu yang sebagian besar isi pembahasannya membahas bambu itu sendiri. Hal ini dapat kita jumpai misalnya dalam riset mengenai bambu dari sudut pandang seorang ahli botani atau ahli pertanian. Meskipun sudut pembahasannya fokus pada bambu itu sendiri, namun penelitian di kelompok ini kadang masih memiliki keterkaitan dengan aspek penggunaan bambu sebagai material. Beberapa riset dalam kelompok ini misalnya:
- “Anatomy of Bamboo” – Riset tentang anatomi bambu.
Artikel W. Liese dari Institut for Wood Biology and Wood Preservation, Jerman, ini fokus membahas mengenai anatomi serta sifat yang terdapat pada batang bambu. Liese menyajikan penjelasan singkat tentang struktur anatomis batang bambu khususnya yang terkait “saluran pembuluh” bambu dan sel pembentuk jaringan batang (parenchyma dan vascular bundels). [1]
Dalam penjelasannya, Liese menunjukkan bahwa sebagai bagian dari famili rumput-rumputan, batang bambu yang ber-ruas dengan bagian luar batang dilapisi satu layer sel epidermal membuat cairan sulit mengalir masuk/keluar maupun bergerak antarruas (hal ini nantinya terkait dengan teknik pengawetan bambu secara kimiawi).
Secara karakteristik, menurut Liese, rasio jumlah sel parenchyma pembentuk jaringan dasar batang bambu, fiber, dan jumlah saluran pembuluh berbanding 50%:40%:10% [1]. Di dalam batang bambu itu sendiri, jumlah saluran pembuluh di sisi luar lebih banyak/padat daripada jumlah saluran pembuluh di sisi dalam batang. Hal ini berimplikasi bagian dalam batang lebih padat dengan jaringan parenkim dan juga fiber. Selain itu, jumlah pembuluh dan jaringan parenkim semakin menurun dari akar ke pucuk batang, meninggalkan lebih banyak jaringan serat pada pucuk bambu. [1] Serat bambu sendiri (natural cellulose) memiliki beberapa manfaat dan dapat dikembangkan sebagai material bangunan atau kain (fabric).
- “Bamboo Cultivation” – Riset tentang penanaman bambu.
Penelitian yang dilakukan Etsuzo Uchimura ini menjelaskan tentang dasar-dasar penanaman/pengembangan bambu, khususnya sebagaimana berlaku di Jepang. Satu hal dasar yang penting dan perlu menjadi perhatian dalam penanaman bambu, menurut Uchimura, adalah: kondisi tempat penanaman bambu/kondisi hutan bambu.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan lokasi penanaman bambu yang tepat adalah temperatur lokasi, dimana jenis/spesies bambu yang berbeda membutuhkan temperatur hidup yang berbeda pula. Uchimura mencontohkan dengan dua jenis bambu, P. bambusoides dan P. pubescens, dimana jenis pertama tidak tahan dengan kondisi temperatur di bawah -5°C, sementara jenis kedua hanya akan hidup optimal pada rentang temperatur -3°C hingga 33°C.
Selain itu level curah hujan di lokasi penanaman (dalam konteks penelitian ini, di Jepang) sebaiknya berkisar antara 100mm pada saat pertumbuhan awal tunas bambu dan 200mm pada saat akar serabut bambu mulai banyak tumbuh (akhir musim panas). Level curah hujan total per tahun tidak boleh lebih dari 1000mm. [2]
- “Aspects of Bamboo Agronomy” – Riset tentang aspek-aspek pertumbuhan bambu.
Paper yang merupakan hasil riset Volker Kleinhenz dan David J. Midmore dari Plant Sciences Group, Australia ini, membahas mengenai rekayasa pertumbuhan bambu dan manajemen lingkungan pertumbuhan untuk produksi bambu.
Salah satu hal yang didiskusikan dalam paper ini adalah teknik pertanian/penanaman bambu antara lain: manajemen kepadatan penanaman batang bambu, serta usia bambu saat panen. Kepadatan optimal penanaman batang bambu biasanya terkait erat dengan diameter batang pada masing-masing jenis bambu yang ditanam. Kepadatan penanaman optimal bervariasi tergantung dari: diameter batang bambu (sesuai jenis), kesuburan dan kesesuaian lahan, intensif tidaknya penanaman. [3]
Selain itu, Kleinhenz & Midmore melihat bahwa struktur usia bambu di dalam satu hutan/kebun bambu juga menjadi salah satu faktor penentu produktivitas bambu yang dihasilkan. Rekayasa struktur usia tegakan bambu dapat dijaga dengan melakukan penebangan bambu yang usianya tidak sesuai dengan usia kebanyakan bambu yang ada. Hal ini akan menjaga keseragaman struktur usia bambu sehingga tingkat pertumbuhan, fotosintesis, dan berbagai karakter pertumbuhan bambu dapat lebih dijaga. [3]
Bagaimana Mas Bro? sudah mulai ngantuk? 🙂 Lanjut…
Bambu sebagai Material
Bambu sebagai Material dalam konteks ini memperbincangkan bambu khususnya dalam kaitannya sebagai material (bangunan, struktur, furnitur). Hal ini banyak dijumpai dalam riset dan paper mengenai bambu sebagai bahan dalam konstruksi khusus bambu, penggunaan bambu bersama material lain (kayu, baja/besi, dsb), maupun utilisasi bambu untuk membuat material antara (bambu tidak diaplikasikan secara langsung sebagai material konstruksi akan tetapi dimanfaatkan untuk bahan dasar memproduksi material dari bambu). Beberapa riset menarik dalam kelompok ini antara lain:
- “Bamboo in Construction” – Riset mengenai bambu dalam konstruksi.
Dalam papernya ini, D.L. Jayanetti & P.R. Follett mengajukan argumentasinya bahwa bambu merupakan salah satu material kontruksi yang memiliki prospek di masa mendatang. Meskipun penggunaan bambu sebagai material bangunan terbatasi beberapa kelemahan, penggunaan bambu ke depan menjadi alternatif yang menarik mengingat material kayu yang terdapat di alam semakin terbatas. Kelemahan bambu yang dibahas di dalam paper ini antara lain ketahanan alami bambu terhadap cuaca (sehingga seringkali hanya dimanfaatkan untuk bangunan sementara), karakter material yang memiliki tingkat kekuatan struktur yang terbatas (sehingga sering dianggap sebagai material konstruksi kelas bawah), mudahnya bambu terbakar, dan tingkat kesulitan dalam membuat struktur sambungan bambu. [4]
Paper ini menjelaskan penggunaan bambu untuk beberapa bagian bangunan seperti: pondasi (pondasi bambu langsung kontak dengan tanah, pondasi bambu di atas umpak batu atau beton, pondasi bambu ditanam dalam beton, pondasi bambu pada baja, dan bambu sebagai elemen tulangan beton), lantai (struktur lantai bambu, bambu sebagai deck), dinding (panel bambu, batang bambu vertikal/horisontal, anyaman bambu/gedhek, plester bambu), atap (sirap bambu), serta pintu dan jendela.
Selain itu, paper ini juga membahas mengenai proteksi terhadap bambu sebagai material bangunan. Proteksi yang dapat dilakukan untuk bagian bangunan yang terbuat dari material bambu antara lain: perlindungan dari segi desain (menjaga agar bambu tetap kering, menjauhkan bambu dari kontak langsung dengan tanah, menjaga sirkulasi udara tetap baik, serta menjaga agar bambu tetap dalam posisi yang mudah terlihat sehingga kontrol/monitoring bisa dilakukan berkala), serta perlindungan dalam wujud preservasi/pengawetan bambu. [4]
Sementara itu, aplikasi bambu dalam konstruksi bangunan lain selain bangunan rumah tinggal menurut Jayanetti & Follett dapat dibedakan menjadi empat, yaitu bambu dimanfaatkan dalam konstruksi jembatan, pembuatan scaffolding, beton bertulangan bambu, dan panel (yang terbuat dari) bambu.
- “Engineered bamboo as a building material” – Riset komparasi bambu yang diolah secara teknis dan bambu yang diolah pada umunya sebagai bahan bangunan.
Dalam paper ini, S.K. Paudel menjelaskan beberapa keuntungan dan kerugian yang didapat saat menggunakan bambu (“processed” dan “unprocessed“) sebagai material bangunan rumah. Beberapa manfaat yang bisa didapat dari pemanfaatan bambu sebagai material rumah antara lain: a) untuk bambu yang tidak diproses secara teknis beberapa keuntungannya yaitu tidak memerlukan investasi yang besar, menawarkan desain yang fleksibel, serta tidak membutuhkan standar teknis tertentu sehingga bisa diterapkan di berbagai lokasi selama terdapat material bambu yang memadai; Sementara itu untuk b) material bambu yang diproses secara teknis, beberapa keuntungannya adalah dapat menggunakan berbagai jenis bambu (campuran), kualitasnya dapat distandarkan, produksi dapat dilakukan dalam jumlah besar, serta secara desain dapat dibuat modular dan prefabrikasi. [5]
Sedangkan kerugiannya, menurut Paudel yaitu: a) untuk bambu yang tidak diproses secara teknis/industri antara lain jenis bambu yang dapat dipakai terbatas, tidak adanya quality control yang baik (jenis, usia, ukuran, dsb), keawetan bambu yang sulit diprediksi, sulit untuk menghasilkan banyak rumah dalam rentang waktu yang relatif pendek. Sedangkan untuk b) bambu yang diproses beberapa kerugian yang bisa muncul antara lain memerlukan modal yang cukup besar untuk pemanfaatannya, produksi bambu sebagai bahan mentah harus konstan agar dapat memenuhi kebutuhan produksi pada skala industri. [5]
- “Bamboo Plywood – A New Product of Structural Material with High Strength Properties” – Riset mengenai papan dari bambu dan komparasinya dengan papan kayu lainnya.
Paper yang ditulis Chen Guiseng ini memberikan penjelasan mengenai keunggulan bambu ketika dibuat menjadi panel plywood, dan membandingkannya dengan produk panel kayu lapis lain yang dibuat dari kayu Oak, particle board, dan oriented strand composite plywood (OSCP). Kekuatan panel plywood bambu ini sendiri berada pada nilai modulus of rupture (MOR) atau kekuatan lentur 1,175 Kg/cm² sedikit di bawah nilai MOR Chinese Oak (1,506 Kg/cm²) dan American Oak (1,655 Kg/cm²). [6]
Sementara itu nilai modulus of elasticity (MOE) panel bambu juga tertinggi diantara empat material lainnya, yang menandakan kekuatan/kekakuan panel ini cukup baik. Selain keunggulan ini, panel bambu juga cukup baik berfungsi sebagai insulator thermal pada saat dingin maupun panas. Dengan memadukan bambu dengan resin pada saat proses pembuatan panel bambu, mengurangi resiko panel bambu rusak akibat kelembaban dan juga serangan serangga pemakan bambu. [6]
Bambu sebagai Medium
Nah, yang terakhir ini lebih membahas mengenai Bambu sebagai Medium. Bambu sebagai medium dalam konteks ini sedikit berbeda dengan bambu sebagai material konstruksi. Dalam bagian ini akan kita lihat beberapa penelitian khususnya yang dilakukan peneliti-arsitek-seniman (peneliti dengan latar belakang ilmu arsitektur maupun seni), sehingga kita akan melihat bambu tidak hanya sebagai material/bahan, akan tetapi melihat bambu dari segi estetik maupun karakter/”jiwa”-nya (kesan, tekstur, warna, bentuk, nuansa/nuance, aroma, dsb). Beberapa riset dalam kelompok ini antara lain:
- “Adaptive architecture in rhizomatous plants” – Riset yang meskipun dipublikasikan di jurnal botani, menurut saya cukup menarik bagi arsitek karena riset ini meneliti pola bentuk cabang-cabang pada tanaman berakar serabut.
Bambu merupakan salah satu tanaman berakar serabut yang memiliki sistem rhizoma sehingga saya melihat paper ini cukup menarik, meskipun tidak secara langsung terkait dengan pemanfaatan karakter bambu dalam arsitektur. Paper karya A.D. Bell dan P.B. Tomlinson ini meneliti beberapa jenis tumbuhan rhizoma dengan beberapa karakter morfologi yang unik (octagonal grids, hexagonal grids, dan linear systems). [7] Bentuk-bentuk geometrik batang dan cabang pada masing-masing tanaman bersistem rhizoma ini cukup menarik dan dianalisis secara matematis serta disimulasikan bentuknya dengan komputer. Bentuk geometris yang terbentuk di alam secara natural sangat umum diadopsi dalam karya-karya arsitektur terkenal dan biasanya tak lekang oleh zaman.
- “The Development of Sound Absorbing Materials using Natural Bamboo Fibres” – Riset tentang bambu sebagai sebagai bahan alami untuk desain akustik.
Dalam paper ini, T. Koizumi, N. Tsujiuchi, A. Adachi mendiskusikan pengembangan material baru dengan kemampuan akustik (menyerap gelombang suara) dengan dasar pertimbangan untuk melindungi keberlanjutan lingkungan. Dalam penelitian ini terbukti bahwa serat bambu memiliki properti akustik yang setara dengan glass wool (material yang biasa dipakai sebagai peredam suara pada bangunan). [8]
Nah.. Gimana, Mas Bro… semoga info yang sedikit ini ada manfaatnya ya. Sebagai penutup, saya tautkan sebuah video dari youtube tentang riset bambu di MIT. Selamat menonton!
Referensi:
[1] Liese, W. (1980). Anatomy of bamboo. In Bamboo research in Asia: proceedings of a workshop held in Singapore, 28-30 May 1980. IDRC, Ottawa, ON, CA.
[2] Uchimura, E. (1980). Bamboo cultivation. In Bamboo research in Asia: proceedings of a workshop held in Singapore, 28-30 May 1980. IDRC, Ottawa, ON, CA.
[3] Kleinhenz, V., & Midmore, D. J. (2001). Aspects of bamboo agronomy.Advances in agronomy, 74, 99-153.
[4] Jayanetti, D. L., & Follett, P. R. (2008, September). Bamboo in construction. In Modern Bamboo Structures: Proceedings of the First International Conference (pp. 23-32). Taylor and Francis Group, London.
[5] Paudel, S. K. (2008). Engineered bamboo as a building material.Modern Bamboo Structures (Xiao Y, Inoue M and Paudel SK (eds)). CRC Press (Taylor and Francis Group), London, UK, 33-40.
[6] Chen, G. H. (1985). Bamboo plywood. A new product of structural material with high strength properties. In Proceedings of the 2nd International Bamboo Workshop, Hangzhou, China, 1985.
[7] Bell, A. D., & Tomlinson, P. B. (1980). Adaptive architecture in rhizomatous plants. Botanical Journal of the Linnean Society,80(2), 125-160.
[8] Koizumi, T., Tsujiuchi, N., & Adachi, A. (2002). The development of sound absorbing materials using natural bamboo fibers. WIT Transactions on The Built Environment, 59.
0 Comments