Begini Cara Tradisional Mengawetkan Bambu

“Jumpa lagi dengan saya, Bro!”

Kali ini kita akan mengupas sedikit tentang teknik pengawetan bambu secara tradisional Mas Bro, khususnya pengawetan bambu a la Jawa. Teknik pengawetan bambu yang akan kita bahas ini merupakan hasil dari riset para ahli mengenai bambu lho. Meskipun hasil riset yang akan saya jadikan rujukan di sini adalah hasil riset pada sekitar tahun 80-an, akan tetapi saya yakin teknik yang disampaikan masih cukup relevan untuk diterapkan saat ini. Tertarik? 🙂 Ayoo lanjut menyimak ya, Bro….

Riset yang akan saya jadikan referensi utama dalam perbincangan kali ini adalah riset Pak Achmad Sulthoni (Fakultas Kehutanan, UGM), berjudul “Traditional preservation of bamboo in Java, Indonesia” yang terdapat dalam prosiding konferensi Recent Research on Bamboos. Proceedings of the International Workshop. [1]

Ada beberapa jenis bambu yang dipakai dalam penelitian ini (masih ingat kan, jenis-jenis bambu yang umum dimanfaatkan sebagai material bangunan? baca lagi tentang bambu di sini Mas Bro kalau lupa). Pak Sulthoni meneliti teknik pengawetan bambu tradisional Jawa yang diterapkan pada bambu Gigantochloa apus (jenis bambu yang sering dipergunakan sebagai material struktur bangunan), Gigantochloa otter (umumnya merupakan bahan membuat perabot dan alat-alat musik dari bambu), Dendrocalamus asper (bambu yang sering dipakai sebagai tiang), dan Bambusa vulgaris (bambu yang jamak ditemui dan jarang dimanfaatkan sebagai bahan bangunan). Semua sampel ini berumur 2 (dua) tahun.

Dalam penelitian yang dilakukan Pak Sulthoni, sampel yang ada dicatat perbedaan kandungan serbuk pati-nya (pada saat bambu memasuki usia yang cukup untuk ditebang dan pada saat setelah diawetkan), di perlakukan dengan sama (yaitu diawetkan dengan cara tradisional Jawa: perendaman di air selama 3 (tiga) bulan), dan dicatat jumlah serangan berupa lubang-lubang pada batang bambu yang dibuat oleh kumbang/serangga pemakan pati bambu.

Teknik Tradisional Pengawetan Bambu

Teknik pengawetan bambu secara tradisional yang pada umumnya dipraktekkan adalah pengawetan bambu dengan cara direndam di dalam air. Perendaman ini memakan waktu yang bervariasi dari dua bulan hingga enam bulan. Bambu yang telah memasuki masa tebang biasanya akan ditebang pada waktu tertentu yang dipercaya memiliki efek terhadap kandungan pati dan kelembaban di dalam batang bambu. Setelah itu batang bambu direndam, baik di sungai, kolam, parit, rawa, maupun daerah perairan yang mengandung garam.

Batang bambu tersebut direndam dengan tujuan menghilangkan/mengurangi sebanyak mungkin kandungan pati yang terdapat di dalam batangnya. Setelah beberapa bulan direndam, batang bambu akan dikeluarkan dan dikeringkan untuk menghilangkan kelembaban yang terdapat di dalam batang bambu dan juga untuk menghilangkan bau tidak sedap dikarenakan proses perendaman yang lama. Pada proses pengeringan ini, bambu biasanya diletakkan berdiri berjajar agar udara dan sinar matahari dapat mengeringkan bambu secara merata.

“Terus hubungannya sama penelitiannya Pak Sulthoni apa, Bro?”

Nah, Pak Sulthoni ini meneliti salah satunya keterkaitan antara waktu memanen/penebangan bambu yang biasa dipraktekkan di Jawa dengan jumlah populasi serangga pemakan serbuk pati dalam batang bambu. Selain itu, beliau juga meneliti rerata kandungan serbuk pati di dalam batang bambu terhadap 4 (empat) spesies bambu yang dijadikan sampel sepanjang tahun. Dengan demikian, Pak Sulthoni memberi setidaknya empat informasi yang berharga Bro yang perlu diketahui untuk menentukan kapan waktu terbaik menebang/memanen bambu untuk masing-masing jenis bambu yang diteliti tersebut, dan seberapa banyak serangan hama serangga pemakan serbuk pati bambu setelah pengawetan dengan teknik perendaman selama 1, 2 dan 3 bulan Bro… 🙂

Hasil dari riset Pak Sulthoni tersebut antara lain:

  • Masa tebang bambu di Jawa paling baik pada sekitar bulan April – awal Mei, mengingat pada waktu tersebut (mangsa tua, yaitu mangsa ke-XI pada hitungan Jawa) jumlah relatif populasi 3 spesies hama pemakan serbuk pati bambu (Dinoderus minutus dan D. brevis; Conarthrus praeustus, G. filiformis, dan Myocalandra exarata; serta Laemotmetus rhizopagoides) paling sedikit dibandingkan dengan waktu lainnya dalam satu tahun;
  • Jenis bambu yang paling tahan terhadap serangan hama (dari 4 spesies bambu yang menjadi sampel) adalah Gigantochloa apus (bambu apus) dan G. atter (bambu ater/pring legi). Hasil riset Pak Sulthoni menunjukkan jumlah lubang yang terdapat pada dua jenis bambu tersebut cenderung jauh lebih sedikit dibandingkan Bambusa vulgaris, yang selaras dengan jumlah kandungan serbuk pati dalam batang bambu (G. apus: 0.24-0.71% , G. atter: 0.24-0.64%, B. vulgaris: 0.48-7.97%, dan D. asper: 0.27-2.80%);

cara tradisional mengawetkan bambu
spesies bambu yang diteliti

  • Perendaman bambu dalam air (baik air yang mengalir maupun air yang diam) cukup baik dalam meningkatkan keawetan bambu. Menurut hasil riset Pak Sulthoni, perendaman bambu selama satu bulan sudah cukup. Bambu yang dikategorikan sebagai bambu yang baik untuk konstruksi adalah bambu yang memiliki kandungan serbuk pati kurang dari 1%;
  • Usia manfaat bambu yang telah diawetkan dengan teknik perendaman dalam air cukup baikdengan sedikitnya lubang yang dibuat hama pemakan bambu, untuk ketiga jenis bambu: Gigantochloa apus, G. atter, D. asper. Sementara, hal ini tidak berlaku untuk jenis Bambusa vulgaris. Menurut Pak Sulthoni, hal ini semakin menegaskan kalau tingkat kandungan serbuk pati di dalam bambu sangat mempengaruhi kualitas bambu itu sendiri.

Nah, Bro… itulah sekelumit tentang pengawetan bambu secara tradisional khususnya seperti yang banyak dipraktekkan di Jawa, berdasarkan hasil riset Bapak Sulthoni dari UGM. Semoga Bro jadi nambah informasi ya Bro tentang pengawetan bambu secara tradisional.. dan semoga pada kesempatan lain kita bisa membahas pengawetan bambu secara modern ya Bro..

Kalau Mas Bro tidak sabar menunggu dan tertarik baca-baca lebih jauh hasil riset tentang bambu tersebut, saya sudah sertakan link referensinya di bagian bawah yaa… isinya satu prosiding utuh, jadi banyak membahas tentang bambu ini mulai dari penanaman dan produksi bambu, pertumbuhan bambu, struktur bambu dan sifat-sifatnya, penyakit yang dapat menyerang bambu, penggunaan bambu untuk berbagai hal, serta manfaat sosial ekonomi dari bambu. Begitu.. Mas Broo…

Sampai ketemu di posting selanjutnya yaa… 🙂

Wassalam…

 

 

Referensi:

[1] Sulthoni, A. (1985, October). Traditional preservation of bamboo in Java, Indonesia. In Recent Research on Bamboos. Proceedings of the International Workshop (pp. 349-358).

[2] Gambar diambil dari pixabay.

Post a Comment

0 Comments