Selamat datang di rumahdaribambu.com!
Hari ini, 5 September 2017 merupakan salah satu hari yang istimewa bagi saya. Hari dimana saya turun gunung dan mengambil langkah-langkah kecil dan mulai bergerak, kembali menggeluti dunia tulis menulis (baca: nggambleh) di laman online. Tak lain dan tak bukan, ya hanya di rumahdaribambu.com.
Setelah agak bosan melanglang buana di dunia kerja selama seminggu full, tentunya setiap insan pekerja perlu suatu oase. Klangenan, kata orang Jawa. Agaknya, inilah salah satu alasan mengapa rumahdaribambu.com ini lahir ke dunia (alasan sebenarnya, mohon dibaca baik-baik di sini).
Sebagai sebuah oase, maka laman ini seyogyanya bisa mengobati rasa haus pembacanya. Setidaknya itulah harapan saya. Supaya tulisan, gagasan, ide, konsep-konsep, dan coretan-coretan di laman ini bermanfaat bagi anda dan saya. Bagi pembaca, anda bisa mendapatkan alternatif gagasan rumah urban sederhana yang memanfaatkan material bambu. Gratis! Rasah mbayar. Sementara bagi saya pribadi (atau kontributor, kalau misalnya nantinya akan ada yang nekat nglamar menjadi kontributor laman ini), laman ini semoga bisa menjadi ladang amal yang panennya nanti tiada putus-putusnya.
Sebagai mantan mahasiswa Arsitektur yang telah memutuskan lari dari khittah awalnya dalam berarsitektur, gagasan menerbitkan blog bertemakan arsitektur semacam ini terdengar janggal dan wagu. Namun demikian, alasan saya di atas semoga dapat mewakili niat tulus saya untuk sekedar berbagi.
Lalu, mengapa harus “Rumah Urban”, dan mengapa harus “Bambu”?
Mungkin pertanyaan inilah yang tiba-tiba muncul di benak anda. Saya akan coba menjawabnya. Sekian tahun tinggal di kota megapolitan, ternyata memberikan satu pelajaran berharga diantara banyak pelajaran berharga lainnya: manusia kota, seringkali lupa dengan desa (meskipun paling tidak sekali setahun ikut ritual migrasi besar-besaran dari kota ke desa dalam momen mudik lebaran).
“Jangan nggambleh lho, Bro! Coba tunjukin contohnya.”
Contohnya, masih banyak manusia kota yang tidak mampu menemukan letak Jakarta di peta. Saat saya pulang kampung, sopir-sopir taksi atau tukang ojek online masih sering saya temui bertanya: “Mau pulang kemana, mas? Pulang ke Jawa?”
Contoh lain, kota-kota besar kita sudah terlalu banyak dijejali dinding beton yang bertingkat-tingkat. Rumah-rumah bambu, kayu, dan bedeng-bedeng reyot yang berjejal bak jamur di pusat-pusat keramaian kota terpinggirkan. Marjinal. Slums. Ruwet. Padahal, kalau di desa rumah-rumah gedhek yang terbuat dari bambu banyak yang terlihat rapi, terawat, dan benar-benar menjadi “rumah” bagi penghuninya.
Selain itu, bambu sendiri merupakan salah satu material alami (baca lebih lanjut tentang bambu) yang masih banyak kita temukan di lingkungan sekitar (dan membawa kesan-karakter-tekstur desa yang kuat), yang kalaupun harus beli harganya masih cukup terjangkau.
Simpelnya, rumahdaribambu.com ingin menjadi penyambung ingatan bagi kita: manusia kota, tentang desa. Sebuah tempat dimana kota pada awalnya berasal.
Tapi tentu saja, rumahdaribambu.com bukanlah rumah gadai yang punya target mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru. Laman ini hanyalah remeh-temeh yang semoga menemukan ceruk-nya. Dengan membagi ide-gagasan-konsep-desain rumah urban sederhana (baca lebih lanjut tentang praktik desain rumah sederhana dalam perspektif UU Arsitek) dengan material bambu, dengan semangat open-architecture sebagaimana yang diusung Open Architecture Collaborative, saya berharap rumahdaribambu.com dapat diterima.
Semoga, saya dan anda, bisa melakukannya bersama.
Wassalam. 🙂
0 Comments