Bambu Menjadi Ciri Rumah Adat Toraja

Dua minggu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi salah satu wilayah di Indonesia tengah yang memiliki ragam budaya yang cukup menarik, yaitu bumi Toraja. Ini adalah pertama kalinya saya menginjakkan kaki ke wilayah ini.

Dulu, saat pergi ke daerah saya sejak awal biasanya sudah merencanakan untuk mengambil foto beberapa objek tambahan yang menurut saya menarik. Kali ini, saya hanya melihat sekilas itinerary yang sudah disiapkan. Setelah itu saya hanya menyiapkan kamera saya, baterai dalam kondisi penuh terisi, dan lensa favorit 50mm fixed lens. Berharap dapat menangkap objek-objek menarik ke dalam foto.

Mungkin lensa yang saya pilih akan menjadi kurang cocok karena wilayah yang akan dikunjungi adalah wilayah bergunung-gunung. Semestinya lensa wide angle akan lebih cocok digunakan agar pemandangan indah landscape pegunungan mampu terekam dengan baik. Tapi tak apa lah hunting dengan lensa “portrait” ini, mengingat lensa kit 18-55mm saya sering ngadat.

Tim kami bertolak dari Jakarta menuju Makassar. Di Makassar sempat beristirahat sampai sore dan menikmati pisang goreng dan minuman hangat Saraba di sebuah warkop kekinian bernama Coffeeholic (Warkop Sija) di Jalan Boulevard Makassar.

Malamnya, baru kami bertolak ke Tana Toraja dengan kendaraan sewaan dengan singgah semalam di Pare-Pare sehingga baru siang hari berikutnya kami sampai di tujuan.

Sepanjang perjalanan, keindahan alam pegunungan memang tampak mencolok dengan bukit-bukit batu yang seakan tiba-tiba muncul dari dalam tanah. Hal ini terlihat dari kesan garis-garis vertikal berwarna abu-abu dan hitam pada dinding-dinding bukit berbatu.

Sampai di tujuan, kami mengunjungi beberapa destinasi wisata dan melihat progres pengembangannya. Sebagai salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang diunggulkan untuk menjadi Bali baru (meskipun tidak masuk dalam 10 yang paling prioritas) sudah barang tentu dukungan infrastruktur diperlukan untuk mendongkrak kunjungan wisatawan agar mencapai target yang menurut saya sangat tinggi.

Dari beberapa destinasi yang ada, terdapat satu hal menarik yang saya catat. Hal tersebut yaitu mengenai material bambu yang merupakan salah satu elemen kuat pembentuk ciri rumah adat Toraja (Tongkonan).

Tanaman bambu sendiri tampaknya banyak tumbuh di wilayah ini. Jika dilihat secara kasat mata, kualitas bambu yang tumbuh di sini sepertinya juga cukup bagus. Tegakan bambu tidak terlalu berdekatan, batang bambu pun cukup lurus dan tinggi. Jenis bambu yang saya lihat banyak tumbuh di wilayah ini yaitu keluarga Dendrocalamus.

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Bambu Dendrocalamus

 

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Bambu Dendrocalamus

Lalu, pada bagian manakah bambu dimanfaatkan pada bangunan rumah adat Toraja?

Penggunaan material bambu pada rumah adat Toraja yang paling utama adalah sebagai material penutup atap dan material ceiling/plafond.

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Bambu menjadi ciri rumah adat Toraja

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Penggunaan material bambu secara cerdas sebagai material penutup atap

Dua foto di atas secara lebih jelas menampakkan detail bagaimana masyarakat adat Toraja menggunakan bambu sebagai salah satu material utama pada bangunan adat pada bangunan adat di Kete Kesu. Pada foto di atas material bambu disusun dengan rapi di atas struktur bangunan yang dibangun dari kayu Uru (kayu lokal Sulawesi).

Foto kedua menampilkan secara lebih detil bagaimana susunan dari bambu belah dikaitkan satu dengan yang lain, dibuat berlapis (berlayer-layer) sehingga secara bersama-sama mampu menghadirkan fungsi atap dengan baik (yaitu sebagai pelindung dari sengatan sinar matahari dan terpaan hujan) , sekaligus merupakan solusi arsitektural yang sustainable.

Apabila dilihat secara lebih cermat bambu-bambu belah yang disusun bertumpuk tersebut memang terlihat tidak seragam. Hal ini sangat wajar mengingat bambu merupakan material alami sehingga sulit untuk mendapatkan material yang memiliki bentuk dan ukuran yang sama/sebangun. Jika ditinjau dari jenisnya, sepertinya justru bukan bambu dari keluarga Dendrocalamus yang dipakai untuk material atap rumah adat Toraja melainkan bambu dari keluarga Gigantochloa atau Bambusa.

Sementara itu, material bambu yang digunakan sebagai ceiling/plafond menggunakan pendekatan sedikit berbeda.

Bambu yang dipakai sebagai bahan penutup plafond adalah bambu berukuran lebih kecil yang masih dalam wujud batang bambu (bukan bambu belah). Batang bambu tidak dipasang melintang melainkan membujur mengikuti panjang/orientasi bangunan. Foto berikut lebih jelas menampakkan hal tersebut:

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Batang bambu sebagai material penutup plafon

Salah satu keuntungan menggunakan bambu untuk atap (khususnya di wilayah Toraja yang merupakan wilayah pegunungan) tentunya adalah ketika dikombinasikan dengan material kayu akan menjaga temperatur dalam ruangan sehingga tetap hangat di tengah udara dingin pegunungan ketika malam hari. Sementara di siang hari tidak menyerap panas dengan cepat sehingga ruangan tetap sejuk.

Berikut adalah foto atap bambu pada rumah adat Tongkonan yang sudah lama:

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Atap bambu pada rumah adat Toraja di Lemo, justru menujukkan karakter kuat meski lapuk dimakan usia.

Bagaimana para leluhur bangsa ini membangun rumah mereka sebenarnya memberikan banyak pelajaran bagi kita yang lahir kemudian. Mereka dengan bijaksana mampu mengolah apa yang ada di sekitar mereka, yang hidup dan bisa ditumbuhkan kembali, meregenerasi diri, sehingga menjadi material arsitektur yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Cara dan kebijaksanaan tersebut sebenarnya dapat kita terapkan juga saat kita merencanakan rumah impian sederhana kita pada saat ini.

Sayang sekali, di Toraja sendiri saat ini banyak ditemukan rumah berbentuk Tongkonan akan tetapi mulai menggunakan material baru khususnya pada material atap dan ceilingnya. Bambu mulai digantikan dengan genteng metal maupun seng, mungkin dengan pertimbangan lebih mudah, murah, dan cepat dalam pemasangan dan pembangunannya.

bambu menjadi ciri rumah adat toraja
Material penutup atap baru pengganti bambu, lebih cepat, mudah, murah di destinasi Lolai negeri di atas awan

Menjadi kewajiban kitalah menjaga kearifan-kearifan lokal semacam ini (local wisdom) dan kelak mengaplikasikannya pada rumah urban sederhana kita, sesuai dengan konteks lokal dimana rumah tersebut berada. Dengan demikian, ilmu yang berharga tersebut akan lestari dan tidak hilang begitu saja ditelan zaman.

Jika anda tertarik, anda dapat membaca lebih jauh mengenai sejarah sosial masyarakat Toraja dalam buku “Sejarah Sosial Tana Toraja“.

 

 

Post a Comment

0 Comments