Material Bata yang Tahan Lama: Belajar dari Arsitek Candi Muaro Jambi

Material bata merupakan salah satu material penyusun bangunan yang paling sering kita jumpai saat ini. Meskipun banyak bangunan dewasa ini menggunakan material yang lebih modern seperti beton maupun baja, penggunaan bata sebagai salah satu material bangunan tidak begitu saja ditinggalkan. Kali ini, rumahdaribambu.com ingin mengetengahkan topik tentang “Material Bata yang Tahan Lama: Belajar dari Arsitek Candi Muaro Jambi”.

Beberapa waktu yang lalu, dikarenakan suatu tugas kantor saya berkesempatan mengunjungi tanah Jambi, di Pulau Sumatera. Di sana, mengingat salah satu tugas saya terkait erat dengan pengembangan wilayah dan kawasan khususnya kawasan strategis, maka saya sebagai bagian dari tim sengaja mampir ke salah satu kawasan konservasi yang strategis di Provinsi Jambi, yaitu kompleks Candi Muaro Jambi.

Bukan suatu kebetulan bahwa wilayah Sumatera bagian Selatan dulunya memiliki keterikatan sejarah yang kuat dengan kerajaan Sriwijaya. Meskipun terdapat beberapa wilayah yang mengklaim sebagai pusat cikal bakal kerajaan Sriwijaya (Palembang, Jambi, dan Kedah-Malaysia) [1],  rasa keingintahuan saya terhadap kompleks candi di Muaro Jambi ini tidaklah menjadi sirna.

Candi Muaro Jambi merupakan kompleks candi di dekat Sungai Batanghari, Jambi, yang menurut informasi merupakan komplek “universitas” pada masanya. Universitas ini merupakan universitas yang khusus mempelajari mengenai agama Budha, dan mirip dengan Universitas Nalanda di India pada masa yang sama. Saat keadaan di India tidak kondusif akibat invasi, maka universitas Nalanda dipindahkan ke Sriwijaya, mengingat banyak mahasiswa universitas tersebut berasal dari Sriwijaya [2].

Hal ini cukup menarik, menurut Ahok (Abdul Hafiz, red), salah seorang pegiat sejarah dan budaya Jambi yang menemani kami berkeliling kompleks Candi Muaro Jambi, universitas dibangun di sisi Sungai Batanghari sehingga memudahkan pergerakan mahasiswa (asing) untuk datang dan pergi ke kompleks pendidikan ini. Mengingat pada saat itu sarana transportasi jarak jauh yanhg utama adalah kapal/perahu, maka waktu belajar dari mahasiswa ini juga menyesuaikan dengan datangnya musim angin yang bisa membawa serta kapal/perahu untuk berlayar.

Kawasan Candi Muaro Jambi ini, selain memiliki daya tarik dari sisi kisahnya, bagi saya pribadi juga memiliki daya tarik dari sisi fisik bangunan candinya.

Candi Muaro Jambi merupakan salah satu bangunan candi kuno yang tidak banyak menggunakan material batu sebagai material pembentuk utama bangunan candi, melainkan lebih banyak menggunakan material batu bata.

Material batu memang dipakai pada beberapa elemen dan sudut bangunan, misalnya sebagai pengunci susunan bata pada bagian sudut bangunan, sebagai umpak batu yang dikombinasikan dengan rangka bangunan dari kayu, maupun sebagai material utama dari arca dan makara yang terdapat di bagian-bagian candi.

Mengapa material batu bata pada bangunan Candi Muaro Jambi ini begitu menarik?

Hal ini tak lain dikarenakan bahwa ternyata, sebagai candi yang diperkirakan dibangun ratusan tahun yang lalu, kondisi batu bata asli yang membentuk susunan bangunan Candi Muaro Jambi masih terpelihara dalam kondisi yang cukup baik.

Selain itu, melihat bangunan candi yang merupakan hasil preservasi kita akan dapat melihat kualitas craftmanship para arsitek dan tukang serta artisan pada masa itu. Susunan batu bata merah pembentuk bangunan candi disusun secara apik dan lurus. Apakah pada saat itu sudah terdapat waterpas ataupun penggaris busur saya kurang tahu pasti. Akan tetapi melihat kualitas penataan batu bata yang presisi dan rapi saya meyakini jika arsitek Candi Muaro Jambi pada masa itu sudah mengenal matematika, geometri, serta ilmu pertukangan yang cukup rumit dan kompleks.

Material Bata yang Tahan Lama

Apabila kita melihat secara lebih detail, maka kita akan dibuat lebih kagum lagi.

Jika kita memperhatikan dengan seksama batu bata yang dipakai untuk menyusun bangunan candi, maka kita akan bisa melihat adanya perbedaan komposisi penyusun material bata tersebut dengan batu bata yang dibuat dewasa ini.

Berikut ini beberapa foto batu bata asli Candi Muaro Jambi jika dibandingkan dengan batu bata merah yang dibuat pada jaman modern:

material bata yang tahan lama
Batu bata asli Candi Muaro Jambi

material bata yang tahan lama
Perbedaan bata kuno dan bata baru

Apabila diperhatikan betul-betul, meskipun hanya melihat sepintas saja, kita akan dapat melihat perbedaan signifikan dari kedua jenis bata yang terdapat dalam foto di atas dari aspek tekstur dan aspek warna.

Dari aspek tekstur, terlihat jelas bahwa bata lama memiliki tekstur “berpasir”, sedangkan batu bata baru lebih halus. Selain itu, warna merah pada batu bata kuno terlihat lebih matang jika dibandingkan dengan batu bata yang dibuat dengan teknik baru/modern.

Namun, benarkah tekstur yang muncul pada bagian luar bata kuno di Candi Muaro Jambi tersebut merupakan petunjuk mengenai kemungkinan komposisi pembentuknya?

Mari kita lihat beberapa foto lainnya:

material bata yang tahan lama
Batu bata kuno yang hancur dan tak lagi bisa direkonstruksi

material bata yang tahan lama
Tekstur bata kuno Muaro Jambi dari dekat

Secara kasat mata sepertinya memang tekstur yang terdapat pada bata kuno di kompleks Candi Muaro Jambi ini sedikit memberi clue mengenai bahan penyusunnya. Salah satu yang mungkin terkandung di dalamnya barangkali pasir dan bubuk abu/arang, atau butir-butir pecahan karang. Faktor kematangan bata dan kepadatan bata sepertinya juga mempengaruhi keawetan bata kuno ini.

Akan tetapi, untuk benar-benar mengetahui komposisi batu bata merah Muaro Jambi yang memiliki ketahanan kuat tersebut tentunya kita perlu melihat hasil-hasil penelitian ilmiah yang ada.

Sayangnya, saya sendiri belum dapat menemukan secara lengkap artikel ilmiah terkait yang khusus membahas mengenai komposisi material batu bata merah kuno yang terdapat di Candi Muaro Jambi ini.

Munandar (2010) [3] dalam artikelnya yang berjudul “Kerusakan dan Pelapukan Material Bata” menyampaikan empat tipe kerusakan dan pelabukan material bata (dalam konteks preservasi bangunan candi yang tersusun dari batu bata), yaitu: kerusakan fisis, kerusakan mekanis, pelapukan kimiawi, dan pelapukan biologis.

Faktor penyebab kerusakan itu sendiri menurut Munandar (2010) terjadi akibat faktor internal (kualitas bahan, teknologi/metode pembuatan, teknik pemasangan dan posisi pada bangunan, dan sifat-sifat internal lain), serta faktor eksternal (iklim, cuaca, bencana, faktor manusia, dsb).

Munandar dalam artikelnya tersebut menjelaskan bahwa bahan dasar yang baik untuk membuat batu bata adalah tanah lempung dan pasir dengan perbandingan tertentu (berdasarkan pengalaman pengrajin bata). Apabila kandungan lempung terlalu banyak, bata akan mudah pecah ataupun retak pada saat pengeringan. Sedangkan apabila terlalu banyak kandungan pasir, batu bata akan bersifat mudah patah.

Bata yang baik biasanya dibuat dari bahan dasar yang baik, memiliki kuat tekan yang baik, serta tingkat porositas yang terjaga (lebih kedap air lebih baik). Pembakaran bata dengan kayu keras akan menghasilkan bata yang lebih baik daripada jika dibakar dengan sekam. Hal ini mengingat temperatur yang dihasilkan pada saat pembakaran dan zat karbon yang juga akan berperan pada proses pembakaran. [4]

Dari sisi ukuran, ukuran bata di Candi Muaro Jambi ini memiliki panjang 24-35 cm, lebar 14-22cm, serta tebal 4-8cm. [5]

material bata yang tahan lama
Batu bata kuno bergambar teratai di Muaro Jambi

Apabila anda memiliki informasi yang menarik mengenai material bata yang tahan lama, jangan sungkan untuk berbagi dan berkomentar sehingga dapat memperkaya pengetahuan kita semua tentang material bata khususnya bata merah.

Terima kasih sudah membaca! 🙂

material bata yang tahan lama
Mengamati pecahan bata

 

UPDATE 31 Juli 2018:

Pada minggu ini selama 5 hari, saya beruntung mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Workshop yang diadakan UNESCO bekerjasama dengan Kemendikbud tentang “Capacity Building Workshop for Enhancing the Management of Cultural Landscape” yang diadakan di Yogyakarta.

Pada salah satu kesempatan paparan, yaitu paparan yang disampaikan oleh Ahli Konservasi dari Balai Konservasi Borobudur, salah satu hal yang membuat saya tertarik adalah bahwa menurut beliau terdapat periodisasi atau tren pemilihan material yang dipakai untuk membangun candi. Polanya adalah bahwa pada sekitar sebelum abad ke 7, peninggalan sejarah berupa bangunan candi dan semacamnya masih menggunakan material bata merah. Kemudian pada sekitar abad ke 7-8 hingga abad 12, terjadi pergeseran pemilihan material menggunakan material batu.

Hal ini dapat dilihat pada candi-candi yang ada di Nusantara waktu itu, sebagai contoh adalah situs Batujaya (pra abad ke-7) masih menggunakan material bata. Sedangkan mulai abad ke-7 hingga abad ke-12, kompleks candi seperti Dieng, Gedongsongo, Borobudur, Kalasan, Sewu, Prambanan, dan Plaosan menggunakan material utama yaitu batu.

Sedangkan kompleks candi Muaro Jambi, Muara Takus, Padang Lawas, dan situs Trowulan Majapahit kembali menggunakan batu bata merah sebagai material utamanya.

Hal ini mirip dengan apa yang terjadi di daerah Asia Tenggara lainnya seperti di Kamboja dan sekitarnya. Candi-candi peninggalan Pre-Ankor dan Sambor Prei Kuk menggunakan material bata merah sebagai bahan utamanya sampai dengan abad ke-8. Kemudian tren yang sama terjadi, yaitu perubahan penggunaan material dari bata merah menjadi menggunakan batu hingga sekitar abad ke-13 sebagaimana terlihat pada Candi Bakeng, Pnhom Bakheng, Ta Keo, Bayon, dan Angkor Wat. Sedangkan Siamese Temple dan Ayuttahaya kembali menggunakan material bata merah.

Hal ini cukup menarik tentunya. Bisa jadi memang terdapat pergeseran tren material yang pengaruhnya secara geografis meluas tidak hanya di Nusantara namun hingga daerah Indochina, atau memang pengaruh wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara memang hingga wilayah Asia Tenggara lainnya, atau sebaliknya. Kemungkinan lainnya, memang sudah terjalin hubungan yang erat antar kerajaan yang berada di kawasan Asia Tenggara sejak dulu kala, baik kerjasama perdagangan, pendidikan, maupun keagamaan. Namun, tentunya kita perlu menggali dan membaca lebih dalam lagi berbagai literatur yang ada terkait ini, meskipun menurut Ahli dari Balai Konservasi Borobudur riset mengenai hal ini juga masih sangat terbatas dan masih terbuka peluang bagi peneliti untuk meneliti tren penggunaan material ini.

 

Referensi:

[1] MUARA JAMBI: Saksi Pusat Kerajaan Berpindah. (2013, July 22). Retrieved March 11, 2018, from https://hurahura.wordpress.com/2013/07/22/muara-jambi-saksi-pusat-kerajaan-berpindah/

[2] Candi Muaro Jambi, Kampus Peninggalan Kerajaan Sriwijaya. (n.d.). Retrieved March 11, 2018, from https://travel.kompas.com/read/2017/03/20/160300327/candi.muaro.jambi.kampus.peninggalan.kerajaan.sriwijaya

[3] Munandar, Aris (2010) Kerusakan dan pelapukan material bata. Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur, IV (4). pp. 55-61. ISSN 19788584

[4] Ibid 3.

[5] Swastikawati, Ari (2011) Standar pengujian kualitas bata pengganti. Jurnal Konservasi Benda Cagar Budaya Borobudur, V (5). pp. 4-8. ISSN 19788584

Post a Comment

0 Comments