(“Minimalis” bukan dalam konteks style sebagaimana diperbincangkan di artikel rumah minimalis di Indonesia ini.)
Setelah bencana gempa bumi terjadi di Pulau Lombok dan sekitarnya, kita kembali dikejutkan dengan peristiwa bencana yang mungkin lebih dahsyat, yaitu bencana gempa bumi yang disertai dengan tsunami serta likuefaksi yang mengguncang Palu, Donggala, dan Sigi di Sulawei Tengah.
Tentunya, kita juga turut prihatin dan ikut mendoakan agar para kroban bencana diberikan kekuatan dan ketabahan untuk bisa bangkit kembali setelah bencana tersebut.
Salah satu upaya ikut berkontribusi kaitannya dengan upaya perencanaan kembali kawasan yang terdampak bencana, beberapa waktu lalu ditunjukkan salah satunya oleh komunitas Indonesian Young Architect (IYA).
IYA merupakan komunitas arsitek-arsitek muda yang tinggal dan berkarya di Bali. Keprihatinan terhadap bencana yang menimpa Lombok khususnya mendorong IYA mengadakan semacam event desain kolaboratif dengan tema “Rumah untuk Lombok”.
Kegiatan ini memiliki maksud guna memberikan sumbangsih berupa ide dan konsep desain rumah tinggal sederhana tahan gempa (dengan budget kurang dari 50 juta -sesuai jumlah bantuan Pemerintah untuk perbaikan rumah masyarakat yang terdampak bencana-) yang dapat dibangun masyarakat pasca bencana.
Penyelenggara kegiatan menerima berbagai usulan ide dan konsep desain dalam dua kategori, yaitu kategori rumah swadaya (dibangun mandiri oleh masyarakat) dan kategori rumah CSR (fabricated/knockdown).
Kegiatan ini diadakan mulai 13 Agustus hingga 1 Oktober 2018, dan melibatkan beberapa arsitek muda seperti Budi Pradono dan Yu Sing sebagai Kurator yang menentukan karya mana yang lolos kurasi untuk masuk tahap pameran/eksibisi.
Saya sendiri merasa terpanggil untuk ikut berkontribusi dalam kegiatan ini. Meskipun tak lolos kurasi, saya harap sumbangsih kecil ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi para korban bencana namun juga bagi rekan lain yang membutuhkan.
Kebetulan, dikarenakan kesibukan kerja di waktu yang bersamaan dengan waktu pelaksanaan event, gambar yang saya hasilkan pun tidak maksimal dan jauh dari memenuhi syarat.
Namun demikian, saya tetap memutuskan untuk submit gambar saya tersebut meskipun tanpa dilengkapi gambar perspektif, aksonometric diagram, gambar potongan, dan penjelasan yang lebih rinci tentang detail-detail desain yang ada. Paling tidak, dalam pikiran saya, saya harus selesaikan apa yang telah saya mulai.
Dengan demikian, ini adalah kali pertama saya kembali mengikuti dan mengirimkan ide desain dalam sebuah kegiatan desain kolaboratif ataupun sayembara arsitektur setelah sekian lama vakum.
Saya memilih skenario rumah swadaya, dengan pertimbangan bahwa ketika masyarakat membangun sendiri rumahnya secara bergotong royong merupakan salah satu bentuk trauma healing yang dapat membantu memacu semangat untuk kembali bangkit bersama.
Tentu saja, material sisa bangunan lama, kayu pohon kelapa (glugu) dan bambu menjadi material utama pilihan saya. Sedangkan untuk material penutup atap, untuk mengejar kecepatan penyelesaian dan pertimbangan bobot yang ringan saya memilih galvalum sheet.
Berikut ini konsep dan beberapa gambar yang saya buat untuk event tersebut. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.
0 Comments