The Egg: Entry Sayembara Resilient Homes Challenge 2018

Kali ini saya ingin menceritakan sedikit mengenai entry yang saya submit dalam sebuah perhelatan sayembara arsitektur (architecture competition) internasional berjudul “Resilient Homes Challenge” yang diadakan oleh Build Academy (anda dapat melihat link-nya di sini) setelah entry sayembara saya sebelumnya. Meskipun tidak lolos, setidaknya sayembara ini memberikan beberapa pelajaran berharga bagi saya khususnya dalam hal perancangan hunian dengan berbasis mitigasi kebencanaan. Nah, kali ini saya ingin berbagi sedikit dengan anda mengenai hal itu.

resilience home challenges
 

Dalam sayembara ini, terdapat tiga skenario utama yang dapat dipilih oleh para calon peserta sayembara. Tiga skenario tersebut yaitu: a) Skenario 1: Earthquakes and Tropical storms with wind speeds in excess of 250 km/hr. (cyclones/ hurricanes/ typhoons) also resulting in localized flooding dengan pilihan lokasi di Karibia termasuk Haiti, b) Skenario 2: Earthquakes also resulting in landslides dengan lokasi antara lain Nepal, northern India, Peru, serta c) Skenario 3: Tropical storms with wind speeds in excess of 250 km/hr (cyclones/hurricanes/typhoons) also resulting in localized flooding (low-lying areas) seperti Bangladesh dan Philippines.

Para peserta diberikan waktu sekitar dua bulan untuk menyelesaikan tantangan ini. Para peserta pun diberikan opsi untuk memilih bekerja dengan membentuk kelompok yang akan difasilitasi oleh penyelenggara challenge, atau bekerja secara mandiri. Saya sendiri kemarin memilih bekerja sendiri dengan pertimbangan jadwal pekerjaan utama saya yang tidak dapat diprediksi sehingga pastinya akan menyulitkan koordinasi dan kerjasama dengan anggota tim lain (internasional) apabila saya memutuskan untuk membentuk kelompok.

Pada akhir kompetisi terdapat sekitar 300 submission karya. Hal ini menggambarkan bahwa jumlah peserta ternyata sangat membludak dan persaingan akan menjadi sangat ketat.

Beberapa hal yang menarik dari challenge ini, sesuai dengan motto-nya, yaitu “Crowd-solving challenges”, maka solusi yang ditawarkan dalam hal rumah yang tangguh dalam menghadapi bencana nantinya diharapkan muncul dari kerumunan (crowd) dalam waktu yang relatif cepat dengan kualitas yang baik sebagaimana yang sekarang ini sedang menjadi tren dalam dunia teknologi dan IT (crowd solving, crowd funding, dsb).

Hasil pengumuman final-nya pun baru diumumkan pagi ini, dan beberapa tim yang menjadi pemenang yaitu: KZ Architecture (USA), Baha Spatial Agency (Nepal), PoliTo (Philippine), CSW Architecture (Haiti), TEN (Nepal), BAM-S (Bangladesh), Antu (Karibia), Compartment S4 (India), dan Architects Avenue (Malaysia). Sedangkan Honorable Mentions meliputi: Guo Kunqui, Seeds, dan Maru.

Namun saya tidak akan membahas desain dari para pemenang tersebut dalam tulisan ini. Anda dapat langsung menjelajahi desain dan ide-ide brilian mereka dari laman aslinya yang sudah saya sertakan link-nya.

Pada tulisan ini saya ingin publish gagasan desain saya yang menjadi entry dalam sayembara tersebut, berjudul “The Egg”.

Saya pada awalnya secara tidak sengaja menemukan informasi tentang sayembara ini di situs archdaily. Dari situ saya merasa tertarik dengan kompetisi ini. Tujuan saya waktu itu adalah memang untuk membangun kembali portfolio saya yang sempat mandek lama karena kesibukan saya di dunia kerja yang tidak langsung bersentuhan dengan rancang-merancang bangunan.

Ide tentang “The Egg” muncul mengingat beberapa waktu sebelumnya memang di Filipina terjadi badai yang cukup besar berskala super typhoon yang diberi nama Mangkhut.

Dari sinilah tiba-tiba yang muncul di benak saya adalah sebentuk “telur” yang memiliki cangkang yang secara bentuk sebenarnya cukup kokoh dan sekaligus aerodinamis. Karakteristik bentuk inilah yang memungkinkannya untuk diusulkan menjadi salah satu solusi rumah tahan bencana, khususnya dalam skenario menghadapi badai tropis.

Saya kemudian mulai membuat beberapa sketsa dan kemudian mulai menuangkannya ke CAD. Dalam hal ini saya menggunakan DraftSight, yang sangat mirip dengan AutoCAD akan tetapi gratis/free (meskipun tidak opensource namun tetap proprietary).

Berikut ini beberapa ide yang saya tuangkan dalam entry saya (dengan sedikit keterbatasan teknik presentasi arsitektur saya ditengah deadline yang menumpuk he..he..he..):







Nah, itulah konsep yang saya ajukan. Namun memang, karya-karya lain jauh lebih bagus dan matang dalam konsep, eksekusinya dan teknik penyampaian idenya.

Setelah saya coba melihat dan membaca karya para jawara sayembara ini, ada beberapa hal dalam proposal saya yang sepertinya perlu diperbaiki antara lain: secara konsep ada hal yang kurang pas, misal penggunaan material yang kurang ramah lingkungan dan masih mahal, kolong pemanen air yang susah dibersihkan, serta masih perlunya ilustrasi detail dari masing-masing aspek yang dinilai dalam sayembara. Ini merupakan salah satu kunci keberhasilan komunikasi arsitektur. Penjelasan yang baik (dalam gambar dan tulisan) akan dapat menjamin keseluruhan ide arsiteknya dapat dipahami oleh khalayak. Hal ini penting karena yang hendak dikomunikasikan adalah sesuatu yang fungsional, yang memiliki fungsi tertentu dan bukan semata-mata seni yang penerjemahannya kadang diserahkan sepenuhnya kepada para penikmatnya.

Selain itu kelemahan lain di proposal saya nampaknya terletak pada building cost yang saya susun, yang dalam hal ini juga belum secara lengkap meng-capture kebutuhan pembiayaan pembangunan jika benar dibangun.

Demikian sedikit sharing dari hasil saya mengikuti sayembara ini, semoga bermanfaat bagi pembaca! 🙂

Kalau ada sayembara arsitektur lainnya yang menarik (dan gratis 🙂 ) jangan lupa kasih tau saya…




Post a Comment

0 Comments